Secercah Rivalitas di Tengah
Industri Sepakbola:
Danke, Borussia
Dortmund
Beberapa hari yang lalu, saya
mengecek sebuah berita di harian Spanyol, Marca, bahwa Ikey Gundongan
berpeluang besar mengepak barang dari Dortmund di akhir musim dengan status
gratis ke Manchester United. Well,
tentunya berita ini bukan sebuah barang baru, mengingat Dortmund identik dengan
melepas pemain dengan cara yang tidak lazim. Salah satu transfer yang
menguntungkan Dortmund adalah saat mendatangkan Shinji Kagawa dengan nilai tak
lebih dari setengah juta euro, kemudian melepasnya ke MU dengan nilai 17 juta
pounds. Meskipun demikian, sudah barang tentu sebenarnya Dortmund tidak ingin
melepas pemain terbaiknya ke klub lain, namun kontrak yang akan kadaluarsa
dalam setahun membuatnya melepas si pemain. Sebelum Kagawa, Dortmund juga
melakukan hal yang sama kepada pemain bintangnya, Nuri Sahin. Persis dengan
kasus Kagawa, Sahin direkrut Madrid dengan nilai yang lebih murah, 10 juta euro.
(Kagawa dilepas Dortmund ke MU karena sang pemain tidak ingin memperpanjang kontrak)
Tahun lalu, Dortmund kehilangan
salah satu pemain bintangnya dengan berat hati bernama Mario Gotze. Adalah
Bayern Munich yang membajak sang pemain dengan menebus klausul trasfer buy-out Gotze senilai 37 juta
euro. Tak ayal, hal ini membuat Dortmund sakit hati kepada si pemain dan klub
pembajaknya, Bayern Munich. Kisah lebih pahit terulang lagi di musim ini.
Dortmund harus merelakan pemain depan terbaik mereka Robert Lewadownski ke Bayern
di akhir musim nanti dengan status bebas transfer alias cuma-cuma. Tak ayal,
Lewadownksi menjadi bulan-bulanan publik Signal Iduna Park. Tak hanya
Lewadownski, Ikay Gundongan yang diincar MU juga sedang dalam proses menyusul
rekannya tersebut keluar dari Dortmund secara gratis. Ada apa dengan Dortmund?
(Gundongan (kiri), berpeluang mengikuti jejak Lewandownski meninggalkan Signal Idura Park)
Sebagai sebuah klub yang memiliki
keterbatasan dalam belanja pemain beberapa tahun lalu, Dortmund tentu memilih
membeli pemain-pemain muda murah berbakat dari seluruh dunia. Dortmund tidak
membeli bintang, tapi menciptakan bintang. Tak kurang dari Robert Lewadownski,
Kuba, Gotze, Gundongan, Kagawa dihasilkan dengan mengeluarkan uang transfer
kurang dari lima juta euro, padahal harga akumulasi semua pemain itu lebih
mencapai 200 juta euro. Sebuah pencapaian yang luar biasa oleh Dortmund. Namun,
sekali lagi, pencapaian itu tidak membuat Dortmund lantas berniat menghasilkan
uang dalam jumlah besar. Ya, Dortmund keuh-keuh tidak melepas bintangnya, terlebih
kepada rivalnya yang bermain di Bundesliga seperti Bayern Munich. Well, Dortmund adalah pebisnis yang
idealis dan selektif.
Ya, apa yang dilakukan oleh Dortmund
jelas sebuah kesejukan ditengah semakin terkikisnya nilai kompetisi sepakbola
seiring dengan berkembangnya sepakbola sebagai sebuah industri. Tak sedikit
klub lebih mementingkan fulus ketimbang mempertahankan nilai kompetisi sebuah
liga. Kita mungkin dibawa kepada Lyon, yang medio 2000-an mendominasi Liga
Prancis, dengan cara membajak para pemain bintang rival-rivalnya. Bergeser
sejenak, dengan modal besar dan suntikan dana sugar daddy, para KKB (klub kaya
Baru) seperti Manchester City, Chelsea, AS Monaco, dan PSG mengubah peta
persaingan dan kompetisi di liga masing-masing.
(AS Monaco menjadi salah satu klub kaya baru yang mengubah peta Liga Prancis)
Mungkin sebagian pihak skeptis
menganggap sikap Dortmund. Sebagian menganggap Dortmund terlalu idealis. Namun,
sikap Dortmund yang mempertahankan pemain bintangnya, bahkan bila harus
melepasnya dengan cara gratis hingga kontrak berakhir patut diacungi jempol.
Dortmund tetap mempertahankan rivalitas antar klub yang menjadi ciri khas
sepakbola, meskipun dunia industri dan bisnis semakin kuat menancapkan kukunya
di permainan ini. Dortmund, menjaga sebuah nilai kebanggaan dari kekuatan sepakbola.
Dortmund, mencoba mempertahankan rivalitas melalui sikap idealisnya.
Trims, Dortmund! Danke, Dortmund!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar