Rabu, 08 Januari 2014

[Kolom] Ketika Fans menjadi (sangat) Sensitif :Dari Ketidaksukaan Hingga Garuk Selangkangan


Kolom Daniel Oslanto

Ketika Fans menjadi (sangat) Sensitif :Dari Ketidaksukaan Hingga Garuk Selangkangan

Maafkan saya atas judul yang cukup vulgar. Awalnya, pertandingan Madrid melawan Celta Vigo berjalan seperti biasa, artinya tidak terjadi kejadian luar biasa yang menghebohkan. Paling banter hanya ocehan fans Madrid saat Di Maria keluar digantikan Bale. Bukan sebuah kejutan, mengingat fans Madrid tidak begitu menyukai winger asal Argentina ini lagi. Namun, kejadian yang tidak disengaja menjadi sebuah perkara berbuntut panjang, dimana sesaat sebelum digantikan, Di Maria melakukan gestur memegang selangkangannya, dan dianggap oleh sejumlah pihak sebagai bentuk penghinaan kepada fans. Menarik sekali, karena berbicara soal garuk selangkangan, sedikit keluar topik, saya teringat akan seorang manusia penting di sebuah Negara berkembang dengan baju koko tertangkap kamera menggaruk selangkangannya sekeluar dari mesjid dan gambarnya beredar di Internet (if you know what I mean :P). Kembali ke topik, apakah gestur ini memang sebuah bentuk penghinaan?

 (Di Maria dengan gesturnya sesaat sebelum digantikan Gareth Bale )


Seorang teman memperlihatkan beberapa artikel menarik teringat respon pemain terhadap fans. Mungkin satu yang terkenal di antaranya adalah tendangan kungfu Erick Cantona kepada fans. Yang teranyar dikenal saat Arsenal digebuk Manchester City, dimana Wilshere mengacuhkan jari tengah ke arah fans. Tentunya sikap keduanya tidak bisa dimaafkan dan pantas diganjar oleh hukuman. Menarik sekali. Sepakbola bukan sekedar hiburan, sepakbola juga menjadi industri bisnis yang menopang hajat hidup orang banyak di dalamnya. Apakah wacana fans adalah raja masih berlaku sebagai industri sepakbola? Tentu saja. Fans adalah raja. Fans datang ke stadion untuk menikmati sajian laga sebelas melawan sebelas para aktor lapangan hijau, sembari memberikan dukungannya bagi tim kesayangan. Uniknya, kecintaan fans akan klub kesayanganya bisa menjadi sebuah pemicu kebencian bagi lawan-lawannya. Tanyakan saja kepada Cantona, Wilshere, atau pemain lain yang pernah melayangkan respon atau gestur negatif, semuanya tindakan mereka pasti diawali dari sikap fans yang mencemooh, menghina, atau memaki mereka. Sebuah resiko yang sudah dipahami oleh pesepakbola sejak awal.

 (Wilshere, mengacuhkan jari tengah saat Arsenal menghadapi City musim ini di Emirates Stadium)


Banyak cara pemain untuk merespon cemooh, hinaan atau makian para fans sepakbola. Ada yang membalasnya seperti yang dilakukan Cantona dan Wilshere, ada juga yang menanggapinya dengan keluar lapangan atau menangis. Kevin Prince Boateng, gelandang Schalke 04 yang juga eks Milan, pernah melakukan aksi walk-out dari lapangan. Dalam sebuah pertandingan persahabatan Milan melawan Pro Patria, Boateng mendapat teriakan rasis dari fans lawan yang membuat Boateng meninggalkan lapangan. Berbeda dengan Volkan Sen, seorang pemain Trazonspor, klub divisi utama Liga Turki. Pada bulan delapan tahun lalu, Volkan Sen menangis di lapangan saat seorang fans menghina anaknya yang baru saja meninggal dunia. Aksi ini dilanjutkan dengan meminta dirinya diganti dari lapangan.

(Volkan Sen, menangis setelah seorang fans menghina anaknya yang baru meninggal dunia)


Ketika fans mungkin mulai bosan melakukan provokasi, inovasi baru untuk meng-insult pemain menjadi pilihan logis. Di Maria mungkin salah satu korbannya. Diawali ketidaksukaan akan Di Maria, fans Madrid mulai mempertanyakan gestur Di Maria yang seperti menggaruk selangkangannya. Hasil riset yang saya temukan, sebagian besar pria melakukan “kegiatan” ini sebagai sebuah kebiasaan, yang mana perkataan Di Maria menjadi masuk akal. Bahkan Di Maria menyatakan dukungannya kepada Madrid untuk melakukan investigasi terkait hal ini. Ketika fans menjadi (sangat) sensitif, berbagai hal dilakukan untuk menginsult pemain yang tak disukai.

Daniel Oslanto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar