Kolom Daniel Oslanto
Ketika Fans menjadi (sangat) Sensitif
:Dari Ketidaksukaan Hingga Garuk Selangkangan
Maafkan saya atas judul yang
cukup vulgar. Awalnya, pertandingan Madrid melawan Celta Vigo berjalan seperti
biasa, artinya tidak terjadi kejadian luar biasa yang menghebohkan. Paling banter
hanya ocehan fans Madrid saat Di Maria keluar digantikan Bale. Bukan sebuah
kejutan, mengingat fans Madrid tidak begitu menyukai winger asal Argentina ini lagi. Namun, kejadian yang tidak
disengaja menjadi sebuah perkara berbuntut panjang, dimana sesaat sebelum
digantikan, Di Maria melakukan gestur memegang selangkangannya, dan dianggap
oleh sejumlah pihak sebagai bentuk penghinaan kepada fans. Menarik sekali,
karena berbicara soal garuk selangkangan, sedikit keluar topik, saya teringat
akan seorang manusia penting di sebuah Negara berkembang dengan baju koko
tertangkap kamera menggaruk selangkangannya sekeluar dari mesjid dan gambarnya
beredar di Internet (if you know what I
mean :P). Kembali ke topik, apakah gestur ini memang sebuah bentuk
penghinaan?
(Di Maria dengan gesturnya sesaat sebelum digantikan Gareth Bale )
Seorang teman memperlihatkan
beberapa artikel menarik teringat respon pemain terhadap fans. Mungkin satu
yang terkenal di antaranya adalah tendangan kungfu Erick Cantona kepada fans.
Yang teranyar dikenal saat Arsenal digebuk Manchester City, dimana Wilshere
mengacuhkan jari tengah ke arah fans. Tentunya sikap keduanya tidak bisa
dimaafkan dan pantas diganjar oleh hukuman. Menarik sekali. Sepakbola bukan
sekedar hiburan, sepakbola juga menjadi industri bisnis yang menopang hajat
hidup orang banyak di dalamnya. Apakah wacana fans adalah raja masih berlaku
sebagai industri sepakbola? Tentu saja. Fans adalah raja. Fans datang ke
stadion untuk menikmati sajian laga sebelas melawan sebelas para aktor lapangan
hijau, sembari memberikan dukungannya bagi tim kesayangan. Uniknya, kecintaan
fans akan klub kesayanganya bisa menjadi sebuah pemicu kebencian bagi
lawan-lawannya. Tanyakan saja kepada Cantona, Wilshere, atau pemain lain yang
pernah melayangkan respon atau gestur negatif, semuanya tindakan mereka pasti
diawali dari sikap fans yang mencemooh, menghina, atau memaki mereka. Sebuah
resiko yang sudah dipahami oleh pesepakbola sejak awal.
(Wilshere, mengacuhkan jari tengah saat Arsenal menghadapi City musim ini di Emirates Stadium)
Banyak cara pemain untuk merespon
cemooh, hinaan atau makian para fans sepakbola. Ada yang membalasnya seperti
yang dilakukan Cantona dan Wilshere, ada juga yang menanggapinya dengan keluar
lapangan atau menangis. Kevin Prince Boateng, gelandang Schalke 04 yang juga
eks Milan, pernah melakukan aksi walk-out dari lapangan. Dalam sebuah
pertandingan persahabatan Milan melawan Pro Patria, Boateng mendapat teriakan
rasis dari fans lawan yang membuat Boateng meninggalkan lapangan. Berbeda
dengan Volkan Sen, seorang pemain Trazonspor, klub divisi utama Liga Turki. Pada bulan delapan tahun lalu, Volkan
Sen menangis di lapangan saat seorang fans menghina anaknya yang baru saja
meninggal dunia. Aksi ini dilanjutkan dengan meminta dirinya diganti dari
lapangan.
(Volkan Sen, menangis setelah seorang fans menghina anaknya yang baru meninggal dunia)
Ketika fans mungkin mulai bosan
melakukan provokasi, inovasi baru untuk meng-insult pemain menjadi pilihan
logis. Di Maria mungkin salah satu korbannya. Diawali ketidaksukaan akan Di
Maria, fans Madrid mulai mempertanyakan gestur Di Maria yang seperti menggaruk
selangkangannya. Hasil riset yang saya temukan, sebagian besar pria melakukan “kegiatan”
ini sebagai sebuah kebiasaan, yang mana perkataan Di Maria menjadi masuk akal.
Bahkan Di Maria menyatakan dukungannya kepada Madrid untuk melakukan
investigasi terkait hal ini. Ketika fans menjadi (sangat) sensitif, berbagai
hal dilakukan untuk menginsult pemain yang tak disukai.
Daniel Oslanto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar