Rabu, 19 Februari 2014

[Kolom] Sepakbola Bukanlah Sepakbola (Lagi)



Catatan Daniel Oslanto
"Ketika Sepakbola bukan lagi sekedar Hiburan"


Sepakbola Bukanlah Sepakbola (Lagi)
 

Saya baru saja membaca sebuah artikel yang dibuat oleh akun Twitter @vetriciawizach yang berjudul : Sepakbola Tak Lebih Penting dari Sekolah dan Rumah Sakit (baca: http://www.panditfootball.com/sepakbola-tak-lebih-penting-dari-sekolah-dan-rumah-sakit/). Sebuah artikel yang sangat menarik, dan cukup membuka pengetahuan mengenai bagaimana pandangan lain terhadap sepakbola. Sebuah artikel yang membahas mengenai mirisnya hingar bingar persiapan Piala Dunia 2014 yang diusahakan sebaik mungkin dengan pembangunan stadion megah, namun seolah mengabaikan fasilitas publik yang belum juga memadai seperti sekolah dan rumah sakit.

Ketika saya masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, saya menganggap sepakbola sebuah hiburan dan olahraga yang menyenangkan. Sebuah permainan sebelas melawan sebelas di lapangan, yang menjunjung tinggi semangat kompetisi dan memperlihatkan kemampuan memainkan si kulit bundar. Tayangan Sepakbola bagi saya sendiri adalah sebuah hiburan yang jauh lebih menarik ketimbang acara serial di televisi. Bagi saya sepakbola adalah sebuah olahraga yang tidak sekedar olahraga, namun sudah berkembang dalam banyak aspek kehidupan. So, apakah benar Sepakbola tak lebih penting dari sekolah dan rumah sakit?

Pada 2012, Brazil menjadi negara ekonomi terbesar keenam di dunia, menggeser posisi Inggris. Sebuah prestasi yang sangat mencengangkan  tentunya. Pertumbuhan ekonomi mencapai 2,7 %. Ekonomi Brazil yang meningkat berimbas kepada banyak hal, termasuk ke pada dunia sepakbolanya. Liga Brazil tidak lagi sekedar kawah candradimuka untuk para atlet si kulit bundar, namun bisa jadi pilihan menarik untuk menghabiskan karir. Klub Brazil tidak lagi kesulitan untuk membayar pesepakbola dengan gaji yang tinggi. Contoh teranyar adalah bertahannya Neymar dan Ganso, dua nama yang sempat melejit melalui penampilannya di Copa America Brazil pada tahun 2011. Neymar akhirnya meninggalkan Brazil pada 2013, dua tahun setelahnya, dan Ganso memilih pindah ke Sao Paulo dengan nilai transfer mencapai 27 juta euro, sebuah transfer besar bagi sebuah klub Liga Brazil. Perekonomian Brazil yang semakin membaik tentunya menjadi alasan kenapa sepakbola Brazil mampu bersikap “jual mahal” kepada tawaran-tawaran dari klub Eropa yang dianggap menggelikan. 

 (Perekonomian yang baik di Brazil mampu membuat Neymar dan Ganso bertahan lebih lama di Liga Brazil. Credit : Blogger)


Pada artikel yang ditulis oleh @vetriciawizach, diungkapkan bahwa ada saat ini sekitar 40 juta dari 197 juta penduduk yang berstatus miskin. Tapi pada faktanya, sebagian besar orang miskin di Brazil memilih sepakbola sebagai jalan hidup mereka. Dimulai dari sepakbola jalanan, mereka bisa memulai karir dan di usia-15 sudah bisa bergabung dengan klub lokal dan mendapatkan bayaran yang pantas. Sebagian besar mereka memilih untuk besar di jalanan ketimbang menghabiskan waktu mereka duduk di sekolahan. Dengan menjadi pesepakbola di Liga domestik Brazil, mereka bisa menghasilkan ribuan hingga ratusan ribu dollar per tahun, hampir sama dengan pendapatan seorang programmer di salah satu perusahaan IT terbesar di dunia. Terlebih bila memiliki kualitas diatas rata-rata, gerbang menuju pintu Eropa akan terbuka dengan lebar.

 (Rafinha (Vasco da Gama) mendapat bayaran yang cukup mahal untuk bermain di Liga Brazil. Credit : Kanalbola)


Pagelaran Piala Dunia 2014 di Brazil bukan semata sebagai ajang untuk menggelar event paling bergengsi di dunia sepakbola, namun juga dipakai sebagai wahana untuk mempromosikan Brazil. Sebagai salah satu negara yang memiliki iklim ekonomi dan investasi yang sangat baik, mempromosikan Brazil lewat Piala Dunia tentunya sangat bagus. Melalui Piala Dunia, Brazil bisa memperlihatkan bahwa negara ini adalah negara yang aman, bersahabat dan menjanjikan. Pagelaran Piala Dunia sendiri memang tidak sembarangan, karena menuntut syarat infrastruktur yang memadai, dimulai dari Stadion, fasilitas Publik seperti transportasi, akomodasi, hingga layanan kesehatan. Memang, Brazil menghabiskan biaya yang tidak sedikit untuk melakukan pembangunan Stadion, yang mungkin dianggap sebagian pihak sebagai sebuah pemborosan (atau lebih baik membangun sekolah dan rumah sakit), namun tanpa adanya Stadion itu, Piala Dunia akan urung dilaksanakan, dan tujuan lain Brazil akan hilang.

Akan sangat ironis membayangkan ratusan ribu orang berdemo karena pembangunan Stadion yang boros demi Piala Dunia, namun jutaan rakyat Brazil menggantungkan hidup dari sepakbola dan pagelaran Piala Dunia seperti groundsman (tukang beberes rumput stadion), pengurus stadion, pihak perhotelan, hingga pekerja seks komersial yang ikut kecipratan untung dengan adanya Piala Dunia. Demikian halnya dengan pemain sepakbola beserta kru dibaliknya, mulai dari jasa keamanan/ kepolisian hingga pihak wartawan/media. 

(Ratusan ribu orang berdemo karena pembangunan Stadion yang boros demi Piala Dunia, namun jutaan rakyat Brazil menggantungkan hidup dari sepakbola. Credit : Lensa Indonesia)


Beranjak ke kondisi Stadion Afsel yang tidak terisi setelah pagelaran Piala Dunia 2010 selesai. Sebagian mungkin menganggap bahwa Piala Dunia Afsel 2010 meninggalkan masalah baru dimana tingkat kemiskinan yang tinggi ada di antara stadion stadion megah yang nyaris tidak digunakan. Biaya pembangunan stadion yang mahal, namun tidak memiliki fungsi berarti setelah pagelaran piala dunia, memang sekilas miris terdengar. Namun, kita tidak boleh melupakan sejarah bagaimana Politik Apartheid melukai negara ini dengan sangat mendalam. Sebuah dikriminasi ras membawa negara ini kepada ketidakstabilan politik dan keamanan. Nelson Mandela, yang akhirnya menjadi tokoh penting dalam revolusi menentang politik Apartheid melalui sepakbola. Sebagian boleh berkilah bahwa pembangunan Stadion di Afsel itu hanya membuang anggaran saja, namun tidak etis bila kita melupakan bahwa negara ini berhasil keluar dari diskriminasi ras, salah satunya melalui sepakbola. Sejarah negara ini tidak akan pernah lepas dari sepakbola, yang menjadi bahasa yang mempersatukan mereka semua di dalam bendera Afrika Selatan.

(Melalui Sepakbola, Mandela menghapus Politik Apartheid. Bagaimanapun Afsel tidak akan pernah bisa dilepaskan dari sepakbola. Credit: Liverpool Echo)


Sepakbola tak lebih penting dari rumah sakit dan Sekolah? Setiap orang pasti punya jawaban yang bervariasi. Namun, bila kita menanyakannya kepada penduduk Italia yang gemar menonton sepakbola ke Stadion setelah mengikuti Ibadah di gereja pada hari minggunya, atau bertanya kepada publik Inggris yang begitu terkenal dengan sepakbolanya, atau kepada publik German yang begitu getol dalam mendukung tim kesayangannya, mungkin kita bisa mendapat gambaran seberapa vital peranan sepakbola bagi kehidupan mereka. Bagi para pemain sepakbola dari “negara kedua” semisal Afrika, contoh Samuel Eto’o, Michael Essien, Gervinho, Yaya Toure, Kolo Toure, dan ratusan ribu pesepakbola asal Afrika yang mencoba meraih peruntungan dan kehidupan layak di Eropa, sepakbola adalah segalanya bagi mereka. Bagi para pemain sepakbola, tim medis sepakbola, tim maintenance stadion, groundsman, hingga para peliput berita sepakbola, sepakbola adalah segalanya. 

(Sepakbola melebihi apapun bagi Yaya Toure, dan rekannya dari Afrika yang berhasil menembus sepakbola Eropa. Credit : Daily Mail)


Kemudian saya berpikir sejenak, dan akhirnya saya bisa memahami bahwa hidup saya tidak akan semenarik ini bilamana saya tidak mencintai sepakbola. Sepakbola adalah bagian yang vital bagi saya, meskipun hanya sebatas sebagai hiburan saja. Setiap kali Firman Utina dkk berlaga di Gelora Bung Karno, puluhan ribu orang akan setia datang ke sana untuk memberikan dukungan, jutaan mata tidak akan melewatkan pertandingan tersebut dari layar kaca. Ribuan akan berteriak teriak sambil mengecat tubuhnya dengan warna merah putih. Dan semua bernyanyi “Indonesia Raya, merdeka merdeka, tanahku negriku yang kucinta, Indonesia Raya merdeka, merdeka, hiduplah Indonesia Raya...” penuh kebanggaan, saat lagu kebangsaan dikumandangkan. Jauh lebih khimat dan menggetarkan jiwa daripada saat Upacara bendera yang setiap senin saya lakoni semasa sekolah. Ya semua ini saya temukan dalam sepakbola. Sepakbola bukan lagi sekedar sepakbola, sekedar olahraga, sebuah permainan sebelas lawan sebelas di lapangan. Sepakbola juga sebuah industri bagi jutaan orang, sebuah hiburan bagi milyaran orang, sebuah harapan dan sebuah bahasa pemersatu bagi seluruh dunia.

Ya, Sepakbola bukanlah Sepakbola (Lagi)

[Review : Manchester City vs Barcelona] Time to Say Goodbye?


Barcelona Mengalahkan City di Etihad Stadium


Time to Say Goodbye?

Saya masih ingat, sehabis drawing Liga Champions, media menyebut Barcelona dihadapkan satu masalah besar. Masalah itu bernama Manchester City, yang sedang memainkan performa terbaik di Liga domestik. Tidak tanggung-tanggung, setiap lawan yang bertandang ke Etihad akan dihadiahi minimal tiga gol dan dipastikan gagal meraih kemenangan. Kondisi itu berbalik saat Barcelona datang memenuhi undangan City dalam lanjutan babak 16 Besar Liga Champions. City sedang dalam persoalan besar mengingat mereka kehilangan momentum setelah dikalahkan Chelsea di kandang untuk pertama kali, persoalan cedera pemain kunci, hingga tidak bertanding di akhir pekan lalu.

Barcelona yang datang ke Etihad tetap memperagakan Tiki-Taka baru ala Tata Martino. Penguasaan bola menjadi sesuatu hal yang sangat esensial bagi tim Barcelona. Kebetulan, Pellegrini justru tidak tertarik melakoni Barcelona untuk mengandalkan ball possesion, seperti yang selama ini menjadi ciri khas City bila bermain di depan publik sendiri. Pellegrini justru mengubah skema permainan Koimpany dkk, dimana Pellegrini berani berjudi dengan memasukkan Alexandre Kolarov dan Jesus Navas di sisi kiri dan kanan sayap Manchester City. Kedua pemain memiliki kecepatan yang tentunya menjadi momok bagi Barcelona yang sangat rentan dalam menghadapi serangan balik cepat.

(Pellegrini memanfaatkan kecepatan Kolarov di sisi kiri untuk mengakomodir skema serangan balik cepat City ketika menghadapi Barcelona. Credit : The Sun)


Sayangnya, skema ini jelas sebuah blunder bagi Pellegrini. Penguasaan bola yang minim membuat pemain seperti David Silva dan Yaya Toure sulit untuk berkembang. Hal ini diperparah dengan Jesus Navas dan kolarov yang sering kehilangan bola, ketika sedang melancarkan serangan balik. Tak mengherankan bila sepanjang babak pertama, Barcelona mendikte permainan City. Ruang gerak terbatas dan mentoknya serangan terkadang membuat Yaya Toure melakukan improvisasi manuver, hingga meninggalkan posnya sebagai gelandang bertahan, yang akhirnya membuat Barcelona semakin kokoh menguasai lini tengah.

Pellerini tentunya berharap kecepatan yang dimiliki oleh Negredo dapat dimanfaatkan untuk membawa keunggulan bagi Manchester City. Sayangnya, Negredo tidak mampu memaksimalkan dengan baik peluang yang telah diciptakan oleh rekannya. Alih-alih memainkan Dzeko yang memiliki postur tinggi dan unggul dalam duel udara, Pellegrini tetap memaksakan memainkan Negredo yang sangat tidak efektif dalam memanfaatkan peluang. Petaka itu pun terjadi, ketika Demichelis terlihat menjatuhkan Messi. Tidak hanya memberikan penalti, wasit juga memberikan kartu merah yang membuat City semakin sulit untuk mengejar ketertinggalan.


(Kartu Merah Demichelis semakin mempersulit City untuk mengimbangi Barcelona. Credit : Independent)


Memasukkan Dzeko, Nasri dan Lescott menggantikan Negredo, Kolarov dan Navas, Pellegrini melakukan perjudian yang tidak lazim. Alih-alih untuk mencoba mencari penyama kedudukan, Pellegrini memilih untuk mempertahankan “stabilitas” dengan memainkan pola 4-4-1. Pellegrini seharusnya mencoba memainkan dua penyerang sekaligus, karena kekalahan di partai ini dengan skor berapapun akan sangat menyulitkan City untuk lolos ke babak berikutnya. Ditariknya Kolarov dan Navas membuat City tidak lagi memainkan skema serangan balik, namun mencoba bermain natural, yang sebenarnya sudah telat mengingat psikologis yang sedang tertinggal dan kalah dalam jumlah pemain.

(Masuknya Nasri tidak memberikan perubahan berarti bagi permainan City. Credit : The Guardian)


Kemenangan Barcelona pada pertandingan kali ini dipengaruhi oleh kesalahan Pellegrini dalam memainkan taktik. Pellegrini justru terlalu berjudi dengan memainkan Kolarov di sisi sayap kiri dan Navas di sayap kanan. Pellegrini masih punya opsi memainkan James Milner di sisi kanan, yang terbukti lebih stabil dan kokoh untuk meredam Jordi Alba yang dalam pertandingan ini begitu leluasa mengekploitasi area yang sering ditinggalkan oleh Jesus Navas. Silva yang membutuhkan partner setipe seperti Nasri jelas kesulitan mengembangkan permainan mengingat dalam pertandingan ini, Busquet hanya perlu memberikan pengawalan ketat terhadap Silva yang berperan sebagai role play City. Secara keseluruhan, City kalah dari Barcelona. Dengan defisit kekalahan  dua gol di kandang sendiri, peluang City sangat kecil untuk lolos ke babak berikutnya. Time to Say Goodbye?

Kamis, 13 Februari 2014

Kolom _Liverpool : The Reds Keeping Marvelous Dream


Kolom : Daniel Oslanto
Astonishing Liverpool shows great performance as they beat Fulham 3-2 in Craven Cottage


The Reds Keeping Marvelous Dream

Liverpool visit The Craven Cottage in the Premier League midweek match day, for facing Fulham. When Chelsea got a draw result, Arsenal face difficult game in big match versus Manchester United, and in another hand, Manchester City unable using Emirates Stadium, Brendan Rodgers instruct his player to secure three points which help them approach top of the table. In the match, Liverpool conceded first by Toure mistake when tried to pass the ball away, but got misdirection way and make Fulham lead. Then several seconds before the first whistle, Sturridge brought Liverpool out an equal goal. In the second tempo, Liverpool conceded again by former England national team player, Kieran Richardson. Several minutes after that, Sturridge came become a protagonist and assist Coutinho for making goal. In the last minutes of the match, Gerrard Penalty made Liverpool win the match. 

 (Sturridge dance as he celebrated his goal when Liverpool demolished Fulham. Credit : Thisisandfield)


This result made Liverpool reduce the gap with Chelsea, top of the table, with only four points. The fact makes some verdict that Liverpool shall be considered as a contender. Unless Chelsea and Arsenal failed to win over the coming match again, Liverpool can take advantages secure the top of the table. Liverpool also has some advantages as good as they were considered as contender. The first is they don’t play in European competition. Liverpool has more energy, more fitness, less injury risk than Arsenal, Chelsea, Manchester City which still remain in European competition. The second reason is Liverpool has advantages when face the contenders entirely this season. Liverpool will meet Manchester City and Chelsea in Anfield stadium, and when it happens, the first place players which suffer injury like Lucas, Sakho and Enrique should be available in these matches. 

(Lucas Leiva, one of the best Liverpool Midfielder will expect back before Liverpool face other contenders like Chelsea and Manchester City. Credit : Mirror UK)


On the latest match several hours ago, Brendan Rodgers should be happy for the result but, the team left some notice. Although the squad played bravely and never stop to demolish Fulham defense, the fact is they can’t score winning goal until the referee give a Penalty kick for Anfield boys. He admits that he should proud with Sturridge performance, but not ignore that Suarez never find a net in three latest performances left some slightly concern in his mind. The missing of Lucas made Rodgers should take decision put either Gerrard or Allen as replacement. Therefore, Coutinho will fill the Gerrard position and Suarez will play from the left side. Although Suarez still get the big shoot on every performance, but the new position significantly reduce the possibility he write his name down on the score chart. For a player who had netted 23 goals from less than 21 games this seasons, fail to score on three latest performances was a big deal. No matter what Rodgers though about his game but fast or slow, lack of confidence will meet Suarez and determine the entire squad. And if it happens, Liverpool have serious problem in the rest of this season.


(Scoreless Suarez in three latest performances made a slightly concern for Rodgers and himself. Credit : Liverpool Echo)


Least not at last, Liverpool on great campaign for reign their aims. Their objective season is seal a spot for playing in European Champions League next season, or in another names, they should get at least the fourth position on the table. As long as they still consider as a contender, the objective will meet them on the end of season. With only four point’s gap which separates them with Chelsea, the current top of the table, upgrading the season objectives isn’t a fault. Even if they don’t finish the season with new champions status, what Anfield Gank shows entirely this season should be appreciate. Yeah, they are back. The Anfield Gank is back. The Reds is back. You’ll never walk alone (again).

Selasa, 11 Februari 2014

Manchester United Column



I’ll Stand By You, Moyes

Sort of angry fans chant the name of David Moyes should be sacked after a miserable streak in their several latest performances. In other hand, some fans still believing with Management choose. Manchester United only grabs one win from their five latest performances. That’s a very disappoint performances. One of my friend is a fan of MU, and after the match he sang The Pretenders Song, I’ll stand by you. He said it was a way for him to keep believing and stand by Moyes.

If tried to be honest, when we heard “Manchester United”, most of us should admit that the Red Devils is one of the best football clubs around the world. With so many glorious history, under Sir Alex Ferguson charging for twenty six years. In the first year, Sir Alex Ferguson had struggled to bring joy for Theater of Dreams and won the first title after three years. Right now, the successor of Ferguson, David Moyes has the similar fate, has some concern continuing that. Not the last at least, after disappointed match versus Fulham, Manchester United will face one of contenders for the title, Arsenal in their town tomorrow.


(Some fans were angry about United performance and get the Moyes as a scapegoat. Now they chanted their wishes about Moyes sacking as soon as possible. Credit : mtnfootball)

Ferguson inheritances the winning squad for Moyes, included Robin van Persie, Shinji Kagawa, De Gea and several 2009 Champion League winners like Rooney, Carrick, Evra, and Vidic. All of these names are champs. After over a half of year, there is no reason for Moyes brought eight lost and five draws as compensation of adaptability of his first charge in United.  Moreover, in the summer transfer, Moyes bring Fellaini out from his former club, Everton although desperate chasing several marquee names like Marchisio and Vidal which both of them owned by Juventus, Di Maria (Real Madrid) or Herrera (Atletic Bilbao). In winter transfer, Moyes makes Manchester United broke the club transfer’s record for arriving of Juan Mata, which spent around 37 milion pounds. But all of these didn’t help too much.


(Rooney become a lethal weapon during Sir Alex Ferguson' Era. Now, he is struggling find form and bring United out of harm. Credit : Daily Mail)

As Manchester United will face Arsenal in Emirates Stadium tomorrow night, it seems Manchester United would delay their hope to get winning way back. Arsenal is chasing top of the table which had stolen by Chelsea last week, and not give any mercy for Manchester United misery. And if could be happen, should the angry fans have forgiven for Moyes? In my mind, I doubt about that. When Bobby Shankly made one of the best quotes in Football: If you can’t support us when we draw or lose, don’t support use when we win”, he teach fans how about passion and loving the favorite club and stand by it when didn’t get a win. Moyes on the top being scapegoat of United suffer, but blame and sacked him isn’t the best option. As long as management keep believing in Moyes, the fans suppose to stand by him till find a way back and out of harm. And the last, I wanna sing a song for Moyes, a song from The Pretenders. I’ll stand by you, I’ll stand by you, won’t let nobody hurt you. I’ll stand by you, take me in, into your darkness hour, and I’ll never desert you, and I’ll stand by you.


(After some hopeless result, should the fans stay stand by Moyes? Credit : Telegraph)

We’ll stand by you, Moyes. Glory-glory Manchester United.