Catatan Daniel Oslanto
"Ketika Sepakbola bukan lagi sekedar Hiburan"
Sepakbola Bukanlah Sepakbola
(Lagi)
Saya baru saja membaca sebuah
artikel yang dibuat oleh akun Twitter @vetriciawizach yang berjudul : Sepakbola
Tak Lebih Penting dari Sekolah dan Rumah Sakit (baca: http://www.panditfootball.com/sepakbola-tak-lebih-penting-dari-sekolah-dan-rumah-sakit/).
Sebuah artikel yang sangat menarik, dan cukup membuka pengetahuan mengenai
bagaimana pandangan lain terhadap sepakbola. Sebuah artikel yang membahas
mengenai mirisnya hingar bingar persiapan Piala Dunia 2014 yang diusahakan
sebaik mungkin dengan pembangunan stadion megah, namun seolah mengabaikan
fasilitas publik yang belum juga memadai seperti sekolah dan rumah sakit.
Ketika saya masih duduk di bangku
sekolah menengah pertama, saya menganggap sepakbola sebuah hiburan dan olahraga
yang menyenangkan. Sebuah permainan sebelas melawan sebelas di lapangan, yang
menjunjung tinggi semangat kompetisi dan memperlihatkan kemampuan memainkan si
kulit bundar. Tayangan Sepakbola bagi saya sendiri adalah sebuah hiburan yang
jauh lebih menarik ketimbang acara serial di televisi. Bagi saya sepakbola
adalah sebuah olahraga yang tidak sekedar olahraga, namun sudah berkembang
dalam banyak aspek kehidupan. So,
apakah benar Sepakbola tak lebih penting dari sekolah dan rumah sakit?
Pada 2012, Brazil menjadi negara ekonomi
terbesar keenam di dunia, menggeser posisi Inggris. Sebuah prestasi yang sangat
mencengangkan tentunya. Pertumbuhan ekonomi
mencapai 2,7 %. Ekonomi Brazil yang meningkat berimbas kepada banyak hal,
termasuk ke pada dunia sepakbolanya. Liga Brazil tidak lagi sekedar kawah
candradimuka untuk para atlet si kulit bundar, namun bisa jadi pilihan menarik
untuk menghabiskan karir. Klub Brazil tidak lagi kesulitan untuk membayar
pesepakbola dengan gaji yang tinggi. Contoh teranyar adalah bertahannya Neymar
dan Ganso, dua nama yang sempat melejit melalui penampilannya di Copa America
Brazil pada tahun 2011. Neymar akhirnya meninggalkan Brazil pada 2013, dua
tahun setelahnya, dan Ganso memilih pindah ke Sao Paulo dengan nilai transfer
mencapai 27 juta euro, sebuah transfer besar bagi sebuah klub Liga Brazil. Perekonomian
Brazil yang semakin membaik tentunya menjadi alasan kenapa sepakbola Brazil
mampu bersikap “jual mahal” kepada tawaran-tawaran dari klub Eropa yang
dianggap menggelikan.
(Perekonomian yang baik di Brazil mampu membuat Neymar dan Ganso bertahan lebih lama di Liga Brazil. Credit : Blogger)
Pada artikel yang ditulis oleh @vetriciawizach,
diungkapkan bahwa ada saat ini sekitar 40 juta dari 197 juta penduduk yang
berstatus miskin. Tapi pada faktanya, sebagian besar orang miskin di Brazil
memilih sepakbola sebagai jalan hidup mereka. Dimulai dari sepakbola jalanan,
mereka bisa memulai karir dan di usia-15 sudah bisa bergabung dengan klub lokal
dan mendapatkan bayaran yang pantas. Sebagian besar mereka memilih untuk besar
di jalanan ketimbang menghabiskan waktu mereka duduk di sekolahan. Dengan menjadi
pesepakbola di Liga domestik Brazil, mereka bisa menghasilkan ribuan hingga
ratusan ribu dollar per tahun, hampir sama dengan pendapatan seorang programmer
di salah satu perusahaan IT terbesar di dunia. Terlebih bila memiliki kualitas
diatas rata-rata, gerbang menuju pintu Eropa akan terbuka dengan lebar.
(Rafinha (Vasco da Gama) mendapat bayaran yang cukup mahal untuk bermain di Liga Brazil. Credit : Kanalbola)
Pagelaran Piala Dunia 2014 di
Brazil bukan semata sebagai ajang untuk menggelar event paling bergengsi di dunia sepakbola, namun juga dipakai
sebagai wahana untuk mempromosikan Brazil. Sebagai salah satu negara yang
memiliki iklim ekonomi dan investasi yang sangat baik, mempromosikan Brazil
lewat Piala Dunia tentunya sangat bagus. Melalui Piala Dunia, Brazil bisa
memperlihatkan bahwa negara ini adalah negara yang aman, bersahabat dan
menjanjikan. Pagelaran Piala Dunia sendiri memang tidak sembarangan, karena
menuntut syarat infrastruktur yang memadai, dimulai dari Stadion, fasilitas
Publik seperti transportasi, akomodasi, hingga layanan kesehatan. Memang,
Brazil menghabiskan biaya yang tidak sedikit untuk melakukan pembangunan
Stadion, yang mungkin dianggap sebagian pihak sebagai sebuah pemborosan (atau
lebih baik membangun sekolah dan rumah sakit), namun tanpa adanya Stadion itu,
Piala Dunia akan urung dilaksanakan, dan tujuan lain Brazil akan hilang.
Akan sangat ironis membayangkan ratusan
ribu orang berdemo karena pembangunan Stadion yang boros demi Piala Dunia,
namun jutaan rakyat Brazil menggantungkan hidup dari sepakbola dan pagelaran Piala
Dunia seperti groundsman (tukang beberes rumput stadion), pengurus stadion,
pihak perhotelan, hingga pekerja seks komersial yang ikut kecipratan untung
dengan adanya Piala Dunia. Demikian halnya dengan pemain sepakbola beserta kru
dibaliknya, mulai dari jasa keamanan/ kepolisian hingga pihak wartawan/media.
(Ratusan
ribu orang berdemo karena pembangunan Stadion yang boros demi Piala Dunia,
namun jutaan rakyat Brazil menggantungkan hidup dari sepakbola. Credit : Lensa Indonesia)
Beranjak ke kondisi Stadion Afsel
yang tidak terisi setelah pagelaran Piala Dunia 2010 selesai. Sebagian mungkin
menganggap bahwa Piala Dunia Afsel 2010 meninggalkan masalah baru dimana
tingkat kemiskinan yang tinggi ada di antara stadion stadion megah yang nyaris
tidak digunakan. Biaya pembangunan stadion yang mahal, namun tidak memiliki
fungsi berarti setelah pagelaran piala dunia, memang sekilas miris terdengar. Namun,
kita tidak boleh melupakan sejarah bagaimana Politik Apartheid melukai negara
ini dengan sangat mendalam. Sebuah dikriminasi ras membawa negara ini kepada
ketidakstabilan politik dan keamanan. Nelson Mandela, yang akhirnya menjadi
tokoh penting dalam revolusi menentang politik Apartheid melalui sepakbola. Sebagian
boleh berkilah bahwa pembangunan Stadion di Afsel itu hanya membuang anggaran
saja, namun tidak etis bila kita melupakan bahwa negara ini berhasil keluar
dari diskriminasi ras, salah satunya melalui sepakbola. Sejarah negara ini
tidak akan pernah lepas dari sepakbola, yang menjadi bahasa yang mempersatukan
mereka semua di dalam bendera Afrika Selatan.
(Melalui Sepakbola, Mandela menghapus Politik Apartheid. Bagaimanapun Afsel tidak akan pernah bisa dilepaskan dari sepakbola. Credit: Liverpool Echo)
Sepakbola tak lebih penting dari
rumah sakit dan Sekolah? Setiap orang pasti punya jawaban yang bervariasi. Namun,
bila kita menanyakannya kepada penduduk Italia yang gemar menonton sepakbola ke
Stadion setelah mengikuti Ibadah di gereja pada hari minggunya, atau bertanya
kepada publik Inggris yang begitu terkenal dengan sepakbolanya, atau kepada
publik German yang begitu getol dalam mendukung tim kesayangannya, mungkin kita
bisa mendapat gambaran seberapa vital peranan sepakbola bagi kehidupan mereka. Bagi
para pemain sepakbola dari “negara kedua” semisal Afrika, contoh Samuel Eto’o,
Michael Essien, Gervinho, Yaya Toure, Kolo Toure, dan ratusan ribu pesepakbola
asal Afrika yang mencoba meraih peruntungan dan kehidupan layak di Eropa,
sepakbola adalah segalanya bagi mereka. Bagi para pemain sepakbola, tim medis
sepakbola, tim maintenance stadion, groundsman, hingga para peliput berita
sepakbola, sepakbola adalah segalanya.
(Sepakbola melebihi apapun bagi Yaya Toure, dan rekannya dari Afrika yang berhasil menembus sepakbola Eropa. Credit : Daily Mail)
Kemudian saya berpikir sejenak,
dan akhirnya saya bisa memahami bahwa hidup saya tidak akan semenarik ini
bilamana saya tidak mencintai sepakbola. Sepakbola adalah bagian yang vital
bagi saya, meskipun hanya sebatas sebagai hiburan saja. Setiap kali Firman
Utina dkk berlaga di Gelora Bung Karno, puluhan ribu orang akan setia datang ke
sana untuk memberikan dukungan, jutaan mata tidak akan melewatkan pertandingan
tersebut dari layar kaca. Ribuan akan berteriak teriak sambil mengecat tubuhnya
dengan warna merah putih. Dan semua bernyanyi “Indonesia Raya, merdeka merdeka,
tanahku negriku yang kucinta, Indonesia Raya merdeka, merdeka, hiduplah
Indonesia Raya...” penuh kebanggaan, saat lagu kebangsaan dikumandangkan. Jauh lebih
khimat dan menggetarkan jiwa daripada saat Upacara bendera yang setiap senin
saya lakoni semasa sekolah. Ya semua ini saya temukan dalam sepakbola.
Sepakbola bukan lagi sekedar sepakbola, sekedar olahraga, sebuah permainan
sebelas lawan sebelas di lapangan. Sepakbola juga sebuah industri bagi jutaan
orang, sebuah hiburan bagi milyaran orang, sebuah harapan dan sebuah bahasa
pemersatu bagi seluruh dunia.
Ya, Sepakbola bukanlah Sepakbola
(Lagi)