Sehabis pertandingan Milan vs
Ajax, terdengar kabar terjadi kekacauan yang diakibatkan ulah fans Milan dan
Ajax di luar San Siro. Saya mencoba merenung, memahami, ada apa dengan semua
ini. Bukankah sepakbola itu sesuatu hal yang indah dan selalu menjunjung tinggi
rasa hormat dan sportivitas di dalamnya? Ya, banyak orang percaya bahwa
sepakbola adalah bahasa cinta, bahasa yang mempersatukan, bahasa yang digunakan
oleh setiap bangsa untuk merasakan indahnya permainan yang menjunjung tinggi
kebersamaan di atas nilai-nilai sportivitas dan olahraga. Well, perkataan
diatas hanyalah sebait puisi puitis yang menggambarkan romantisme sepakbola.
Namun, harus diakui bahwa
sepakbola juga menyeret atensi yang sangat kuat bagi setiap individu yang
menikmatinya.. Ya, rasanya bibir ini juga ingin mengiyakan salah satu anekdot
di Eropa yang berbunyi “ Its easier change loving wife than change the loving
football club.”, karena pada kenyataannya sangat sulit untuk berganti klub
kesayangan. Well, bukan hanya fans saja yang menemukan keromantisan sepakbola,
bahkan setiap elemen tim yang berada di dalamnya turut merasakan. Ambil bagian
sebagai contoh adalah Thiago Silva, yang masih merindukan bermain di Milan
suatu saat nanti. Atau sosok seperti Cristiano Ronaldo yang selalu mengidolakan
MU dan berharap ada kesempatan menutup karir kelak disana. Ryan Giggs dan
Javier Zanetti yang kadung mencintai olahraga ini, hingga usia yang tak lagi
muda masih tetap semangat untuk menjaga kebugaran bermain di level tertinggi.
Sosok Ruben de La Red, eks Wonderkid Real Madrid yang divonis mengalami
kelainan Jantung tetap memilih tidak jauh dari dunia sepakbola, karena sudah
terlanjur mencintainya. Indah sekali bukan? Ya, Sepakbola memang bahasa yang
mempersatukan banyak hal.
Namun, ibaratnya koin yang
memiliki dua sisi, di samping sisi romantisme sepakbola, fanatisme membawa
sepakbola ke dalam sisi sebaliknya. Menilik sejenak ke belakang, kita akan
menemukan Tragedi Heysel yang begitu menyesakkan bagi semua penikmat sepakbola.
Diawali fanatisme luar biasa, yang berujung pada tindakan anarkis dan kerusuhan
hingga runtuhnya pembatas stadion yang merenggut nyawa banyak nyawa. Kecintaan
berlebih pada sepakbola dikonversikan oleh sebagian fans dalam sikap yang tak
menyenangkan seperti perbuatan anarkis kepada fans lain, melakukan insult
secara personal kepada fans secara verbal maupun nonverbal dengan menggunakan
media dan kecanggihan teknologi saat ini. Tidak hanya fans, pemain sepakbola
juga merasakan hal yang demikian. Roy Keane, yang selalu bersitegang dengan
salah satu pelatih yang membesarkan namanya, Sir Alex Ferguson, Ibrahimovic
yang begitu membenci Pep Guardiola, hingga Andrea Pirlo yang mengungkapkan
kekecewaannya kepada petinggi Milan melalui Biografinya. Serangkaian memori
kisah indah romantisme di masa lalu tidak cukup kuat untuk membuat mereka bisa
saling menghormati.
Saya kembali kepada perenungan
saya. Romantisme sepakbola adalah sesuatu hal yang indah dan menyenangkan.
Bukankah dapat menikmati sajian permainan 11 lawan 11 di lapangan saja adalah
sesuatu yang menyenangkan? Well, Setiap orang punya cara untuk mengekspresikan
kecintaannya dalam sepakbola, karena sepakbola adalah bahasa cinta. Saya
teringat akan kuote seorang teman di salah satu sosial media. Hater is the best
Admirer… in the wrong way. Kemudian saya tersenyum mengingat personal yang
begitu membenci klub kesayangan saya. Ya, mereka adalah pemuja yang hebat, di
jalan yang salah.
Shinobi
Temukan saya di FB
Temukan saya di FB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar