Senin, 30 Desember 2013

[Kolom] Tan, Tony dan Paradoks Sepakbola.

Kolom Daniel Oslanto


Tan, Tony dan Paradoks Sepakbola.

Seminggu lalu, saya mempersiapkan diri untuk menyelesaikan beberapa file sebelum tutup tahun dan menikmati liburan bersama dengan orang-orang terdekat. Saat beberes beberapa berkas digital, saya kembali mendapatkan pemberitaan mengejutkan berbau kontroversi. Setelah mendapati kabar Mckay dipecat dari posisinya sebagai manager Cardiff City, saya dikejutkan dengan pemberitaan Tan yang akan mengganti nama klub menjadi Cardiff Dragon FC. Kontroversi memang menaungi Vincent Tan sejak pertama kali mengakusisi Cardiff pada 2010. Vincent Tan, pemilik Cardiff City menjadi sosok yang bertanggung jawab atas sebagian besar yang terjadi di Cardiff saat ini. Kontroversi dimulai saat Tan mengubah warna dasar dan lambang klub. Warna dasar klub adalah biru, dan lambangnya adalah burung, diganti dengan warna merah dan lambang naga. Tak hanya itu, Tan juga memecat manager Mckay yang merupakan idola bagi para fans Bluebird, julukan Cardiff. Bayangkan, Mckay membawa Cardiff promosi musim ini, dan menjadi finalis Piala FA musim lalu. Sebuah prestasi yang tentunya sangat membanggakan bagi sebuah tim yang musim ini promosi. Namun perselisihannya dengan Tan membuatnya harus rela didepak dari posisi manager.

Sedikit beralih kepada Tony Fernandes. Tony adalah pemilik klub QPR, yang musim ini bermain di divisi Championship setelah degradasi dari premier league. Pada musim lalu, Tony bahkan membeli pemain dengan jumlah sangat besar. Yang didatangkanpun tidak tanggung-tanggung. Julio Cesar eks Inter, Jose Bosingwa eks Chelsea, Shaun Wright Philips, Joey Barton hingga Loic Remy didatangkan. Posisi Manager diberikan kepada dua nama besar, Mark Hughes dan Harry Reknapp, hanya untuk memenuhi ambisinya membawa QPR berprestasi lebih baik. Sialnya, QPR kehilangan momentum dan harus mengakhiri kiprah di Liga Inggris. Tan dan Tony adalah dua sosok yang memiliki beberapa kemiripan. Tan dan Tony adalah pebisnis berkewarganegaraan Malaysia, dan keduanya tidak memiliki “pengetahuan” yang cukup dalam bidang si kulit bundar. Namun, keduanya memiliki status yang berbeda. Jika Tan adalah public enemy di Inggris saat ini, Tony justru mendapatkan rasa simpatik dari para fans menyusul kenyataan pahit yang diterima oleh timnya, yang degradasi ke papan bawah. 

Tan memang menjadi public enemy dengan berbagai tindakan kontroversinya yang mendobrak tradisi, tapi selama Cardiff berada di jalur yang tepat, sebagai contoh kecil, tidak degradasi musim ini, sedikit banyak itu pasti dipengaruhi oleh filosofi Tan. Setidaknya Tan telah menunjukkan ketertarikannya kepada sepakbola, bidang yang tidak dimengerti sepenuhnya dengan membuat kontroversi yang menjengkelkan. Bandingkan dengan Tony Fernandes yang terkesan baik dan royal, namun sebenarnya bisa dikatakan “lepas tangan” dalam urusan sepakbola. Tak heran bila pada akhirnya sebagian besar pemain “punya nama” yang dibeli klubnya tidak tepat guna. 

Keanehan seperti ini memang menciptakan paradoks di dalam sepakbola. Ada tim yang sangat royal membelanjakan uang untuk membeli pemain seperti QPR dalam skala kecil atau Madrid dalam skala besar, namun tidak sebanding dengan prestasi yang diraih. Ada tim yang bermodalkan kerja keras dan semangat pemain muda yang operasionalnya minim, namun meraih gelar juara seperti Dortmund tiga tahun terakhir, atau Porto yang mengalami eksodus para bintangnya setiap musimnya tapi tetap juara. Well kembali kepada Tan dan Tony, apakah keduanya akan memiliki nasib yang sama? Apakah sepakbola hanya sebatas tradisi, materi tim atau budget transfer? Saya kembali berpikir sejenak. Paradoks tetaplah paradoks, tapi kecintaan akan sepakbola itulah yang membuat sepakbola menjadi bahasa nasional yang bersifat mempersatukan bagi ratusan Negara di dunia ini. Mungkin itulah yang ingin ditunjukkan oleh Vincent Tan, sebuah ketertarikan akan sepakbola dengan cara yang berbeda.



Like FB fan page  FootballAssist


Tidak ada komentar:

Posting Komentar