Tan, Tony dan Paradoks Sepakbola.
Seminggu lalu, saya mempersiapkan
diri untuk menyelesaikan beberapa file sebelum tutup tahun dan menikmati
liburan bersama dengan orang-orang terdekat. Saat beberes beberapa berkas
digital, saya kembali mendapatkan pemberitaan mengejutkan berbau kontroversi. Setelah
mendapati kabar Mckay dipecat dari posisinya sebagai manager Cardiff City, saya
dikejutkan dengan pemberitaan Tan yang akan mengganti nama klub menjadi Cardiff
Dragon FC. Kontroversi memang menaungi Vincent Tan sejak pertama kali
mengakusisi Cardiff pada 2010. Vincent Tan, pemilik Cardiff City menjadi sosok
yang bertanggung jawab atas sebagian besar yang terjadi di Cardiff saat ini.
Kontroversi dimulai saat Tan mengubah warna dasar dan lambang klub. Warna dasar
klub adalah biru, dan lambangnya adalah burung, diganti dengan warna merah dan
lambang naga. Tak hanya itu, Tan juga memecat manager Mckay yang merupakan
idola bagi para fans Bluebird,
julukan Cardiff. Bayangkan, Mckay membawa Cardiff promosi musim ini, dan menjadi
finalis Piala FA musim lalu. Sebuah prestasi yang tentunya sangat membanggakan
bagi sebuah tim yang musim ini promosi. Namun perselisihannya dengan Tan
membuatnya harus rela didepak dari posisi manager.
Sedikit beralih kepada Tony
Fernandes. Tony adalah pemilik klub QPR, yang musim ini bermain di divisi
Championship setelah degradasi dari premier league. Pada musim lalu, Tony
bahkan membeli pemain dengan jumlah sangat besar. Yang didatangkanpun tidak
tanggung-tanggung. Julio Cesar eks Inter, Jose Bosingwa eks Chelsea, Shaun
Wright Philips, Joey Barton hingga Loic Remy didatangkan. Posisi Manager
diberikan kepada dua nama besar, Mark Hughes dan Harry Reknapp, hanya untuk
memenuhi ambisinya membawa QPR berprestasi lebih baik. Sialnya, QPR kehilangan
momentum dan harus mengakhiri kiprah di Liga Inggris. Tan dan Tony adalah dua
sosok yang memiliki beberapa kemiripan. Tan dan Tony adalah pebisnis
berkewarganegaraan Malaysia, dan keduanya tidak memiliki “pengetahuan” yang
cukup dalam bidang si kulit bundar. Namun, keduanya memiliki status yang
berbeda. Jika Tan adalah public enemy
di Inggris saat ini, Tony justru mendapatkan rasa simpatik dari para fans
menyusul kenyataan pahit yang diterima oleh timnya, yang degradasi ke papan
bawah.
Tan memang menjadi public enemy dengan berbagai tindakan
kontroversinya yang mendobrak tradisi, tapi selama Cardiff berada di jalur yang
tepat, sebagai contoh kecil, tidak degradasi musim ini, sedikit banyak itu pasti
dipengaruhi oleh filosofi Tan. Setidaknya Tan telah menunjukkan ketertarikannya
kepada sepakbola, bidang yang tidak dimengerti sepenuhnya dengan membuat
kontroversi yang menjengkelkan. Bandingkan dengan Tony Fernandes yang terkesan
baik dan royal, namun sebenarnya bisa dikatakan “lepas tangan” dalam urusan
sepakbola. Tak heran bila pada akhirnya sebagian besar pemain “punya nama” yang
dibeli klubnya tidak tepat guna.
Keanehan seperti ini memang
menciptakan paradoks di dalam sepakbola. Ada tim yang sangat royal
membelanjakan uang untuk membeli pemain seperti QPR dalam skala kecil atau
Madrid dalam skala besar, namun tidak sebanding dengan prestasi yang diraih.
Ada tim yang bermodalkan kerja keras dan semangat pemain muda yang
operasionalnya minim, namun meraih gelar juara seperti Dortmund tiga tahun
terakhir, atau Porto yang mengalami eksodus para bintangnya setiap musimnya
tapi tetap juara. Well kembali kepada Tan dan Tony, apakah keduanya akan memiliki
nasib yang sama? Apakah sepakbola hanya sebatas tradisi, materi tim atau budget
transfer? Saya kembali berpikir sejenak. Paradoks tetaplah paradoks, tapi
kecintaan akan sepakbola itulah yang membuat sepakbola menjadi bahasa nasional
yang bersifat mempersatukan bagi ratusan Negara di dunia ini. Mungkin itulah
yang ingin ditunjukkan oleh Vincent Tan, sebuah ketertarikan akan sepakbola
dengan cara yang berbeda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar